Perkembangan serikat buruh di indonesia

Perkembangan Serikat Buruh di Indonesia, Ekspektasinya, Perjuangannya, dan Hasil dari KKB-nya
I. PENDAHULUAN
  1. para pelaku : pekerja, pengusaha, pemerintah;
  1. kerjasama : manajemen-karyawan;
  1. perundingan bersama : perjanjiankerja, kesepakatan kerja bersama. Peraturan perusahaan;
  1. kesejahteraan: upah, jaminan sosial, pensiun, keselamatan dan kesehatan kerja, pelatihan kerja;
  1. perselisihan industrial : arbitrase, mediasi, mogok, penutupan perusahaan, pemutusan hubungan kerja.
  1. Serikat pekerja/serikat buruh, federasi and konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan keluarganya.
Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serikat pekerja/ serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh mempunyai fungsi :
  1. sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan industrial;
  1. sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan seseuai dengan tingkatannya;
  1. sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan sesuai dengabn peraturan perundang-undangan;
  1. sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya;
  1. sebagai perencana, pelaksana dan penanggung jawab pemogokan pekerja/ buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  1. sebagai wakil pekerja/ buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham di perusahaan.
  1. KEBEBASAN BERSERIKAT DAN BERKUMPUL DALAM HUBUNGAN INDUSTRIAL
  1. SOLUSI PEMECAHAN
  1. sebagai pihak dalam pembuatan PKB dan penyelesaian perselisihan perburuhan
  1. Serikat Buruh A didukung oleh 30 % dari jumlah buruh yang ada,
  1. Serikat Buruh B didukung oleh 20 % dari jumlah buruh yang ada,
  1. Serikat Buruh C didukung oleh 10 % dari jumlah buruh yang ada,
  1. Serikat Buruh D didukung oleh 30 % dari jumlah buruh yang ada,
  1. Serikat Buruh E didukung oleh 10 % dari jumlah buruh yang ada
  1. Pengusaha dan pekerja
  1. Pengusaha atau gabungan pengusaha dan serikat pekerja atau gabungan serikat pekerja
  1. pelaksanaan syarat-syarat kerja di perusahaan,
  1. pelaksanaan norma kerja di perusahaan,
  1. hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja, dan
  1. kondisi kerja di perusahaan
  1. sebagai wakil dalam lembaga kerja sama
  1. sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan
  1. sebagai sarana penyalur aspirasi
  1. sebagai perencana, pelaksana dan penanggungjawab pemogokan buruh.
  1. sebagai wakil dalam memperjuangkan kepemilikan saham
Hari Buruh di Indonesia, dari Rezim Soeharto sampai Era Jokowi
Reformasi
SBY
  1. KESIMPULAN 
  1. Pancasila
  1. UUD tahun 1945
  1. Undang-Undang No.21 Tahun 2000
  1. Undang-Undang No.13 Tahun 2003
  1. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004

 Pekerja atau buruh adalah seseorang yang bekerja kepada orang lain dengan mendapatkan upah. Sedangkan tenaga kerja berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 2 UU no. 13 tahun 2003 adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilan barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Jumlah tenaga kerja yang tersedia di Indonesia tidak seimbang dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia. Terlebih lagi dari sebagian besar tenaga kerja yang tersedia adalah yang berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan sama sekali. Mereka kebanyakan adalah unskillabour, sehingga posisi tawar mereka adalah rendah.
Keadaan ini menimbulkan adanya kecenderungan majikan untuk berbuat sewenang-wenang kepada pekerja/buruhnya. Majikan dapat dengan leluasa untuk menekan pekerja/buruhnya untuk bekerja secara maksimal, terkadang melebihi kemampuan kerjanya. Misalnya majikan dapat menetapkan upah hanya maksimal sebanyak upah minimum propinsi yang ada, tanpa melihat masa kerja dari pekerja itu. Seringkali pekerja dengan masa kerja yang lama upahnya hanya selisih sedikit lebih besar dari upah pekerja yang masa kerjanya kurang dari satu tahun. Majikan enggan untuk meningkatkan atau menaikkan upah pekerja meskipun terjadi peningkatan hasil produksi dengan dalih bahwa takut diprotes oleh perusahaan-perusahaan lain yang sejenis.
Posisi pekerja yang lemah dapat diantisipasi dengan dibentuknya serikat pekerja/serikat buruh yang ada di perusahaan. Diharapkan dengan adanya serikat pekerja di perusahaan dapat mewakili dan menyalurkan aspirasi pekerja, sehingga dapat dilakukan upaya peningkatan kesejahteraan pekerja. Dalam hal ini serikat pekerja/buruh diharapkan dapat sebagai wadah pekerja dalam memperjuangkan haknya.
Kedudukan buruh yang lemah ini membutuhkan suatu wadah supaya menjadi kuat. Wadah itu adalah adanya pelaksanaan hak berserikat di dalam suatu serikat pekerja atau serikat buruh. Tujuan dibentuknya serikat pekerja/ buruh adalah menyeimbangkan posisi buruh dengan majikan. Melalui keterwakilan buruh di dalam serikat buruh maka diharapkan aspirasi buruh dapat sampai kepada majikan
Keberadaan serikat pekerja saat ini lebih terjamin dengan diundangkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja/serikat buruh. Sebelum adanya UU No. 21 Tahun 2000, kedudukan serikat pekerja secara umum dianggap hanyalah sebagai kepanjangan tangan atau boneka dari majikan, yang kurang menereskan aspirasi anggotanya.
Pada masa reformasi setelah adanya UU NO. 21 Thaun 2000 dimungkinkan dibentuk serikat buruh/ pekerja lebih dari satu. Hal ini menyebabkan keberadaan serikat pekerja/serikat buruh banyak didirikan di satu perusahaan. Sayangnya karena ketidak siapan buruh melaksanakan hak berserikat dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk mengeruk keuntungan bagi kepentingannya sendiri dengan menjual bangsa. Dikatakan demikian karena berdasarkan UU No. 21 Tahun 2000 diperbolehkan serikat pekerja/buruh itu menerima sumbangan dana dari negara lain. Sering pula keberadaan serikat pekerja/ buruh yang lebih dari satu jumlahnya di satu perusahaan justru memicu terjadinya perselisihan perburuhan yang dapat berakibat mogok kerja yang justru bertentangan dengan tujuan disahkannya UU No. 21 tahun 2000 tersebut.
Dari uraian di atas maka muncul permasalahan bagaimana fungsi serikat pekerja atau buruh dalam rangka meningkatkan hubungan industrial di tingkat perusahaan. Hal ini memerlukan suatu kebijaksanaan pemerintah, untuk menjabarkan ketentuan yang ada di dalam UU no. 21 Tahun 2000 dalam peraturan pelaksanaannya. Sampai saat ini belum ada peraturan pelaksana dari UU No. 21 Tahun 2000 sehingga untuk mengatasi kekosongan hukum diperlukan banyak penafsiran hukum diantaranya penafsiran mengenai fungsi serikat pekerja.
II KEBEBASAN BERSERIKAT DAN BERKUMPUL BAGI BURUH
 Alinea ketiga dari Pembukaan UUD 1945 yaitu negara melindungi segenap bangsa dan negara Indonesia. Ketentuan ini dijabarkan lebih lanjut dalam pasal 27 UUD 1945 yaitu setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Setiap warga negara berhak atas penghasilan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Buruh adalah bagian dari bangsa Indonesia, sehingga berhak pula untuk dilindungi dan mendapatkan penghidupan yang layak.
Salah satu bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah bagi buruh adalah adanya jaminan atas kebebasan berserikat dan berkumpul dalam suatu wadah serikat buruh/pekerja. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta menyampaikan pendapat merupakan hak dasar yang dimiliki oleh warga negara dari suatu negara hukum demokratis yang berkedaulatan rakyat. Hak-hak yang dimiliki manusia berdasarkan martabatnya sebagai manusia dan bukan karena pemberian masyarakat atau negara disebut hak asasi manusia. Hak asasi manusia dalam negara hukum tidak dapat dipisahkan dari ketertiban dan keadilan. Pengakuan atas negara hukum salah satu tujuannya melindungi hak asasi manusia, berarti hak dan sekaligus kemerdekaan atau kebebasan perorangan diakui, dihormati dan dijunjung tinggi. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan dari negara hukum.
Keberadaan serikat buruh atau pekerja pada masa Orde Baru belum memenuhi prinsip dasar serikat buruh. Prinsip dasar serikat buruh ada tiga yaitu kesatuan, mandiri dan demokratis. Tiga prinsip dasar serikat buruh itu belum dapat dilaksanakan dengan penuh pada masa Orde Baru karena serikat buruh yang diakui saat itu hanya ada satu yaitu serikat buruh seluruh Indonesia (SPSI). Upaya pemerintah selanjutnya untuk memberikan jaminan kebebasan berserikat dan berkumpul bagi buruh dituangkan dalam Undang- Undang No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh.
III. FUNGSI SERIKAT PEKERJA DALAM PENINGKATAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
 Hubungan industrial antara majikan dn buruh atau dengan pemerintah terjadi di tingkat perusahaan atau di tingkat industri. Di negara demokratis, kebebasan berserikat dijamin, kepentingan buruh diwakili oleh serikat buruh. Hubungan industrial ini bersifat universal artinya di semua negara, meskipun dengan derajat kemajuan yang berbeda.
Hubungan industrial yang aman, harmonis dan dinamis diperlukan untuk menjamin ketenangan kerja dan kelangsungan usaha yang produktif. Inti hubungan industrial itu adalah perundingan bersama antara majikan dan serikat buruh untuk mencapai kesepakatan kerja bersama yang kemudian harus dilkasanakan dan dipatuhi oleh semua pihak. Hubungan industrial demikian ini memerlukan persyaratan yang harus dipenuhi oleh unsur-unsur atau sarana- sarananya, termasuk persyaratan akan kerjasama bipartid, tripartid, perlindungan dan kesejahteraan buruh serta penyelesaian perselisihan industrial.
Hubungan industrial diartikan sebagai suatu system hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang atau jasa yang meliputi pengusaha, pekerja dan pemerintah. Pengertian itu memuat semua aspek hubungan kerja yang terdiri dari :
Sedangkan berdasarkan ketentuan pasal 4 Undang-Undang No. 21 Tahun 2000, bahwa :

Subyek hukum dalam hubungan industrial pada dasarnya yang terpenting adalah buruh dan majikan. Disamping itu mengingat hubungan industrial itu terjadi di dalam masyarakat maka subyek hukum hubungan industrial mendapat perluasan meliputi juga masyarakat dan pemerintah. Serikat pekerja/ buruh adalah wakil buruh dalam perusahaan. Sebagai wakil buruh yang sah maka ia mempunyai kedudukan sebagi subyek hukum dalam hubungan industrial yang mandiri. Pemerintah mempunyai andil pula sebagai subyek hukum dalam hubungan industrial dalam arti perwujudannya dalam tiga fungsi pokok pemerintah yaitu mengatur, membina dan mengawasi. Masyarakat menjadi subyek hukum hubungan industrial sebagai akibat perluasan karena bagaimanapun juga hubungan industrial itu akan berdampak bagi masyarakat sekitar lokasi hubungan industrial itu berlangsung atau masyarakat dalam arti skala nasional. Dampak itu dapat positif atau negatif. Mempunyai dampak positif apabila hubungan industrial itu berjalan dengan baik dan tercapai tujuannya. Sebaliknya akan berdampak negatif apabila hubungan industrial itu gagal mencapai tujuannya.
Tujuan dari hubungan industrial pada dasarnya terkait dengan subyek hukum dalam hubungan industrial yaitu meningkatkan produktifitas, meningkatkan kesejahteraan, meningkatkan stabilitas nasional yang mantap. Meningkatkan produktifitas adalah tujuan utama dari majikan dalam hal ia mendirikan suatu usaha. Produktifitas yang meningkatkan akan menghasilkan keuntungan. Adanya keuntungan dari hasil proses produksi diharapkan dapat dikembalikan kepada buruh guna meningkatkan kesejahteraannya. Peningkatan kesejahtaraan merupakan tujuan utama semua buruh. Buruh bekerja tujuannya mendapatkan penghasilan guina pemenuhan kebutuhan hidupnya. Apabila terjadi peningkatan kesejahteraan maka secara otomatis pengsilan buruhpun mengalami peningkatan, sehingga akan tercipta ketenangan bekerja. Suasana yang tenang dalam proses produksi karena telah terjadi peningkatan produktifitas dan peningkatan kesejahteraan maka akan mengakibatkan dampak yang positif bagi masyarakat sekitarnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Adanya ketenangan usaha  memperkecil terjadinya perselisihan perburuhan. Sisi lainnya akan menimbulkan stabilitas nasional yang baik, yang selalu diharapkan oleh pemerintah bagi suksesnya pembangunan ekonomi.
Kenyataan yang ada dalam proses berlangsungnya suatu hubungan industrial tidak seperti yang diharapkan. Majikan sering menempatkan buruh pada posisi yang rendah, sebagai faktor ekstern yang kurang diperhatikan.  Untuk itulah diperlukan adanya suatu wadah bagi buruh sebagi upaya mensejajar-kan posisi buruh majikan dalam proses hubungan industrial dalam suatu serikat buruh/serikat pekerja.
Dalam praktik, masih adanya keengganan menerima keberadaan serikat pekerja di lingkungan perusahaan sebagai mitra sejajar dan masih banyaknya pengusaha yang berpendirian  “Saya yang berkuasa di rumah saya” pada awal lahirnya perjanjian perburuhan (KKB) walaupun didesak dengan ketentuan-ketentuan yang disertai sanksi pidana.
Keberadaan serikat buruh /pekerja dengan adanya Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 ternyata masih banyak menimbulkan masalah. Pada masa Orde Baru masalah yang timbul pada serikat buruh atau serikat pekerja pada umumnya pada ketidak mandirian serikat buruh/pekerja. Serikat buruh pada masa itu hanya ada satu yaitu SPSI dianggap oleh banyak kalangan sebagai corong atau boneka majikan. Seringkali SPSI tidak menyuarakan aspirasi atau kehendak buruh dan ironisnya hanya menyuarakan aspirasi majikan. Pengurus SPSI kebanyakan telah ditentukan oleh majikan yang merupakan orang-orang yang lebih mendekatkan dirinya pada majikan (mereka yang pro-majikan). Pemilihan pengurus SPSI seringkali direkayasa untuk menempatkan orang-orang yang lebih berpihak kepada majikan.
Keberadaan serikat buruh/pekerja setelah masa reformasi dengan telah disahkannnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 ternyata juga masih menimbulkan banyak permasalahan. Permasalahan bukan terletak pada wadah tunggal serikat buruh /pekerja dalam SPSI tetapi pada kemajemukan serikat buruh/serikat pekerja yang telah ada. Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 membuka peluang untuk didirikannya serikat buruh/pekerja lebih dari satu dalam satu perusahaan. Adanya serikat buruh/pekerja yang lebih dari satu dalam satu perusahaan dikatakan merupakan perwujudan dari sikap demokratis buruh. Sayangnya pada umumnya buruh masih belum mempunyai kematangan demokrasi. Demokrasi sering disalah-artikan dengan pemogokan, penganiayaan dan pengrusakan. Adanya ketentuan bahwa serikat buruh/pekerja dapat menerima dana dari luar negeri ternyata disalah gunakan oleh orang-orang tertentu untuk mengambil keuntungan sepihak. Dengan dalih upaya memperjuangkan kesejahteraan buruh, buruh dihasut untuk melakukan pemogokan. Selama berjalannya masa pemogokan ternyata situasi itu diabadikan oleh orang tertentu yang menjadi pengurus serikat buruh atau serikat pekerja untuk mencari dana dari luar negeri. Hal ini sangat disayangkan karena tindakan itu dapat dikatakan telah menjual negara untuk kepentingan pribadi.
Banyaknya serikat buruh /pekerja dalam satu perusahaan juga menimbulkan masalah dalam rangka pembuatan perjanjian kerja bersama karena belum ada peraturan pelaksanaannya. Hal ini memicu serikat buruh yang mempunyai anggota minoritas untuk menghasut atau bahkan mengancam buruh yang bukan anggotanya untuk  melakukan tindakan-tindakan yang dapat mengarah pada perselisihan perburuhan. Hal ini memerlukan suatu interpretasi bagi upaya kekosongan hukum sebelum adanya peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 21 Tahun 2000.
Belum adanya ketentuan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang fungsi serikat buruh/serikat pekerja mengakibatkan diperlukan adanya interpretasi dari ketentuan pasal 4 Undang-Undang No. 21 Tahun 2000.
Sebagi pihak dalam pembuatan PKB saat ini ternyata menimbulkan  problema. Setelah adanya Undang-Undang No. 21 Tahun 2000, dimungkinkan terbentuk lebih dari satu serikat pekerja/ buruh di satu perusahaan. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya. Pada masa itu karena serikat pekerja/buruh hanya diakui satu di seluruh Indonesia yaitu serikat pekerja seluruh Indonesia (SPSI) maka hanya SPSI unit kerja PT X saja yang berhak sebagai pihak dalam pembuatan KKB apabila memenuhi ketentuan jumlah anggotanya adalah minimal 50 % dari jumlah pekerja yang ada di perusahaan itu. Hal ini diatur dalam  pasal 130 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003.
Setelah diundangkannya UU No. 21 Tahun 2000 maka ketentuan yang menyatakan bahwa hanya serikat pekerja yang didukung oleh 50 % dari jumlah pekerja yang ada memerlukan penafsiran hukum karena apabila ketentuan itu dipaksakan maka serikat pekerja yang tidak didukung oleh 50 % jumlah buruh yang ada tidak akan dapat berkedudukan sebagai pihak dalam pembuatan PKB. Serikat Buruh tersebut harus berupaya untuk mencari dukungan untuk memperbanyak jumlah anggota, supaya dapat mecapai angka 50 %. Kesulitan lain akan timbul apabila ternyata di suatu perusahaan  terdapat lebih dari satu serikat buruh sementara dari serikat buruh yang telah ada itu belum mencapai dukungan oleh 50 % jumlah buruh yang ada.
Penafsiran hukum itu diantaranya adalah meniadakan ketentuan banyaknya presentasi dukungan terhadap serikat buruh itu dari jumlah buruh yang ada. Semua serikat pekerja/buruh yang telah ada di perusahaan itu mempunyai kedudukan yang sama dan berhak sebagi pihak dalam pembuatan PKB tanpa memperhatikan presentasi dukungan dari jumlah buruh yang ada. Adapun jumlah anggota dari satu serikat buruh yang akan ikut berunding dalam pembentukan PKB ditentukan berdasarkan presentasi. Misalnya di suatu perusahaan terdapat lima serikat buruh yaitu :
Semua serikat buruh yang yaitu ABCD dan E mempunyai kedudukan yang sama dalam hal sebagai pihak dalam pembuatan PKB. Hanya saja wakil serikat buruh yang telah ada itu untuk dapat sebagai pihak yang akan melakukan perundingan ditentukan berdasarkan presentasi perolehan dukungan. Hal ini disebut dalam pasal 130 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 dengan menugaskan seluruh serikat pekerja/ buruh yang ada di perusahaan itu untuk membentuk tim perunding secara proporsional.
Misalnya untuk 5 % dukungan dari buruh yang ada maka dapat diwakili oleh satu orang. Maka serikat Buruh A berhak menempatkan 4 orang wakilnya, Serikat Buruh B berhak menempatkan 4 orang wakilnya, Serikat Buruh C berhak menempatkan  2 orang wakilnya, Serikat buruh D berhak menempatkan 6 orang wakilnya dan Serikat Buruh E berhak menempatkan 2 orang wakilnya. Dengan demikian maka serikat Buruh yang mayoritas maupun yang minoritas sama-sama dapat menyalurkan aspirasinya dan dapat turut berperan aktif dalam pembuatan PKB.
Selanjutnya fungsi serikat pekerja yang lainnya adalah sebagai pihak dalam penyelesaian perselisihan industrial.  Perselisihan hubungan industrial berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 22 UU No. 13 Tahun 2003 yaitu : perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Dari ketentuan itu dapat diketahui bahwa perselisihan pindustrial dapat terjadi antara subyek hukum yaitu :
Selain itu perselisihan perburuhan itu obyeknya dapat meliputi :

Fungsi serikat pekerja yang kedua adalah sebagai wakil dalam lembaga kerja sama. Hal ini diuraikan lebih lanjut dalam penjelasan pasal 4 ayat (2) huruf b yaitu :
yang dimaksud dengan lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan, misalnya lembaga kerja sama bipartid, lembaga kerjasama tripartid dan lembaga-lembaga lain yang bersifat tripartid seperti Dewan Pelatihan Kerja Nasional, Dewan Keselamatan Kerja, atau Dewan Penelitian pengupahan.
Berdasarkan ketentuan pasal 4 ayat (2) huruf c bahwa serikat pekerja/serikat buruh merupakan sarana dalam menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada fungsi yang kedua ini serikat pekerja/buruh diharapkan dapat menempatkan diri sebagai mitra usaha yang baik yang memperhatikan dua kepentingan yang berbeda untuk disatukan. Tetap memperjuangkan aspirasi pekerja dengan tanpa mengabaikan kepentingan pengusaha. Serikat pekerja harus bijaksana dan adil dalam melakukan pilihan kepentingan pekerja yang akan diperjuangkan denganmemperhatikan kondisi pengusaha.

Fungsi keempat adalah sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya. Fungsi ini di dalam penjelasan pasal demi pasalnya dikatakan cukup jelas. Padahal ketentuan ini masih membutuhkan penafsiran.  Perlu adanya batasan mengenai hak dan kepentingan yang bagaimana yang perlu diperjuangkan, jangan sampai hak pekerja yang yang kurang penting sangat diperjuangkan dengan mengabaikan kepentingan bersama yang jauh lebih besar. Kenyataan yang ada banyaknya serikat pekerja/buruh yang ada di perusahaan memicu terjadinya pertentangan antar serikat pekerja dengan dalih memperjuangkan hak anggota yang kurang prinsip untuk menarik simpati pekerja menjadi anggotanya. Misal diperusahaan X memiliki empat serikat pekerja, satu mayoritas tiga lainnya adalah tidak lebih dari 20 % jumlah pekerja yang ada, saling berlomba memperjuangkan kenaikan tunjangan transport dengan selisih hanya ratusan ribu rupiah. SP –A memperjuangkan kenaikan transport Rp 50.000; SP- B memperjuangkan kenaikan Rp 75.000 dan SP- C memperjuangkan kenaikan transport Rp 100.000. Mereka bertiga mampu mengancam anggota dari SP-D yang mayoritas untuk wajib berpartisipasi negatif dalam turut mogok kerja.
Fungsi kelima yaitu sebagai perencana, pelaksana dan penanggung jawab pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Fungsi ini saling berkaitan satu sama lain. Pemogokan sangat merugikan pihak pihak dalam hubungan industrial. Pemogokan total atau sebagian berakibat penurunan atau bahkan penghentian produktivitas. Serikat pekerja/buruh yang bijaksana akan berpikir jauh tentang rencana dilaksakannya pemogokan. Hasil dari pemogokan selalu dapat dihitung dengan mudah oleh pengusaha. Misalnya dalam satu hari kerja yang terdapat 8 jam kerja  akan mengalami kerugian sebesar x rupiah. Kerugian itu dihitung dari perkiraan rata-rata hasil produksi apabila dilakukan oleh sekian jumlah pekerja dalam waktu sekian jam. Ada baiknya pengurus serikat pekerja juga dibekali pengetahuan tentang managemen produksi, supaya tidak dengan mudah memutuskan ayo kita mogok kerja.
Fungsi terakhir dari serikat pekerja/buruh adalah sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham di perusahaan. Fungsi ini merupakan upaya serikat pekerja dalam menyatukan dua kutub kepentingan pengusaha-pekerja yang berbeda. Kepentingan utama pengusaha adalah meningkatkan produktivitas dengan menghasilkan keuntungan yang besar. Di lain pihak kepentingan utama pekerja adalah mendapatkan penghasilan yang meningkat dalam bentuk terwujudnya peningkatan kesejahteraan.
Pekerja adalah mitra usaha pengusaha. Keduanya saling membutuhkan, tanpa salah satu pihak tidak tercipta hubungan industrial. Tidak dapat dipungkiri hasil keringat pekerja banyak pengusaha mencapai sukses bahkan tidak jarang yang berhasil memperluas usahanya. Alangkah baiknya apabila hasil keringat pekerja mendapat perhatian yang besar dari pengusaha dengan diikutkannya pekerja dalam pengelolaan perusahaan.
Peran serta pekerja dalam pengelolaan perusahaan (co-determination) adalah cara mewujudkan demokrasi di perusahaan melalui struktur perusahaan yang bersifat monistis yaitu di mana perencanaan dan pelaksanaan dilakukan dalam satu organisasi atau melalui perencanaan dan pelaksanaan yang terpisah organisasinya. Upaya ikut memiliki saham dapat dilakukan dengan co-determination ini. Sebagai ilustrasi pekerja yang berprestasi akan memperoleh imbalan penghargaan yang berupa bonus, insentif. Bonus atau insentif itu dapat dikumpulkan dengan tidak diambil oleh pekerja yang selanjutnya digunakan untuk pembelian saham perusahaan yang dijual terbuka.  Dengan ikut memiliki saham, maka pekerja akan lebih merasa menjadi bagian dari usaha itu. Tentunya akan berdampak positif bagi peningkatan kinerjanya.
Selain itu untuk upaya meningkatkan  kesejahteraan dapat pula dilakukan sitem kotak saran. Setiap pekerja diberi kesempatan untuk mengajukan usul perbaikan system kerja yang bertujuan pada efisiensi dan peningkatan produktivitas kepada tim khusus yang dibentuk pengusaha. Apabila usul itu setelah diteliti, diuji coba  ternyata terbukti menghasilkan efisiensi atau peningkatan produktifitas maka pekerja pengusul akan memperoleh imbalan yang relatif besar.
Kedua system ini hanya dapat dilakukan pada perusahaan yang menerapkan asas keterbukaan. Rasanya untuk kondisi Indonesia masih jauh dari harapan, meskipun Indonesia adalah negara yang berkeTuhanan.  Bekerja adalah hak setiap manusia dewasa sebagai upaya menjaga derajat kemanusiaan dan memenuhi kebutuhan hidup. Negara dan masyarakat harus menjamin hak setiap manusia untuk bekerja dan tidak membedakan hak tersebut antara satu dengan yang lain.
Orde Baru
Rezim Orde Baru merupakan masa kelam bagi kemerdekaan buruh. Stigma serikat pekerja adalah komunis membuat kebebasan buruh berserikat serta mengemukakan pendapat di muka umum dibelenggu.
Jenderal Polisi Awaludin Jamin, Menteri Tenaga Kerja saat itu, adalah salah satu tokoh yang sangat mengupayakan agar buruh tidak merayakan harinya setiap 1 Mei. Benar saja. 1 Mei 1967, peringatan May Day di Indonesia dihapus rezim Orde Baru.
Akademisi Surya Tjandra dalam opininya di harian Kompas, 1 Mei 2012 mencatat, ada organisasi buruh yang cukup besar pada era Orde Baru, yakni Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).
Namun, Soeharto membasminya dengan brutal sehingga menimbulkan trauma di kalangan pejuang buruh, bahkan hingga saat ini. Serikat buruh kemudian digiring untuk menjadi lebih berorientasi ekonomis, bukan lagi mempertentangkan kelas.
Dibentuklah Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) dan mengubah diri menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).
Pemerintah Soeharto kemudian menetapkan tanggal 20 Februari sebagai hari buruh. Sebab, pada tanggal itu tahun 1977, adalah peringatan empat tahun berdirinya FBSI.
FSBI kala itu sangat dekat dengan pemerintah. Organisasi itu juga didanai pemerintah. Hal itu membuat nasib buruh stagnan.
Dalam harian Kompas, 13 Januari 1996, Teten Masduki yang saat itu masih menjabat sebagai juru bicara komisi upah memprotes atas buruh yang tidak pernah diajak serta dalam menentukan upah layak.
"Pemerintah selama ini cenderung memperlakukan buruh sebagai bahan bakar untuk memacu industrialisasi dan mendorong ekspor, hingga untuk hal-hal yang menyentuh kebijakan mereka tak pernah diajak bicara," ujar Teten.

Titik terang bagi kebebasan buruh muncul usai rezim Soeharto tumbang. Aktivis buruh, mahasiswa, dan kaum miskin kota di-back upbeberapa akademisi mulai menggaungkan 1 Mei sebagai hari buruh.
Harian Kompas, 2 Mei 2000 memberitakan, para buruh dibantu mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran. Mereka menuntut 1 Mei menjadi hari buruh di Indonesia sekaligus menetapkan hari itu pula sebagai hari libur nasional.
Kompas mencatat, unjuk rasa itu membuat gerah pengusaha. Sebab, selain dilakukan masif di kota-kota besar di Indonesia, aksi itu digelar satu pekan lamanya.
Bahkan, PT Sony Indonesia sampai mengancam hengkang ke Malaysia jika para pekerja tidak kembali bekerja. Tahun 2002, Menteri Tenaga Kerja Yacob Nuwa Wea menyatakan, 1 Mei tidak akan jadi hari libur nasional.
Alasannya, pemerintah telah menetapkan 15 hari sebagai hari libur nasional. Intinya, berlebihan jika 1 Mei juga ditetapkan sebagai hari libur nasional (Kompas, 24 April 2002).
Meski Soeharto tumbang, Presiden setelahnya, baik Gus Dur maupun Megawati, tidak memberi angin segar apa-apa bagi tuntutan buruh soal 'May Day'.

Tuntutan buruh soal 1 Mei ditetapkan sebagai hari buruh dan libur nasional baru terwujud pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, tepatnya 29 April 2013, sekitar setahun sebelum dia habis masa jabatan.
"Ada kado istimewa dari Presiden Yudhoyono, di mana pemerintah akan menjadikan 1 Mei sebagai hari libur nasional," kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal seusai berdialog dengan Presiden SBY di Istana Negara, seperti dikutip harian Kompas, 29 April 2013.
Meski demikian, kaum buruh sempat menaruh ketidakpercayaan kepada rezim SBY. Sebab, sejak periode pertama 2004-2009, SBY selalu 'memunggungi' tuntutan buruh. Bahkan, SBY dianggap mempunyai kebiasaan melakukan lawatan ke luar kota dan luar negeri saat buruh bersorak-sorai menyuarakan tuntutannya.
Sementara, di era Presiden Joko Widodo, kaum buruh seperti berada di tingkat tertinggi. Pada tahun pertama, hari buruh dijadikan momentum oleh Jokowi untuk menelurkan program rumah murah bagi buruh.
Di Semarang, Jokowi melakukan peletakan batu pertama pada dua tower rumah susun khusus untuk pekerja/buruh. Kapasitas rusun itu, yakni 184 unit per tower. Proyek ini adalah bagian dari program sejuta rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Adapun tahap pertama akan dibangun 22.810 unit rumah terlebih dahulu.
"Kaum buruh sangat berterima kasih kepada Presiden atas program-programnya untuk buruh," ujar Presiden Konfederasi Serikat Buruh Pekerja Seluruh Indonesia Andi Gani Nena Wea, Minggu 1 Mei 2016.
Meski demikian, pihaknya menuntut tiga hal pada May Day tahun ini. Pertama, mendesak agar pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan lain yang pro buruh. Kedua, meminta majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membebaskan 23 aktivis buruh, 2 pengacara LBH, dan 1 mahasiswa yang disidang karena menolak PP 78.
"Pemerintah harus melindungi aktivis buruh yang sedang memperjuangkan hak-haknya," ujar Andi.
Serikat pekerja/buruh mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam usaha meningkatkan hubungan industrial di tingkat perusahaan. Kedudukan itu berkaitan dengan pelaksanaan fungsinya yaitu sebagai pihak dalam pembuatan PKB dan penyelesaian perselisihan industrial, sebagai sarana pencipta hubungan industrial yang harmonis, sebagai sarana penyalur aspirasi pekerja, penanggung jawab mogok dan wakil pekerja dan memperjuangkan kepemilikan saham.
VII. DAFTAR RUJUKAN
  1. Pancasila
  2. UUD tahun 1945
  3. Undang-Undang No.21 Tahun 2000
  4. Undang-Undang No.13 Tahun 2003
  5. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004
 DAFTAR PUSTAKA
https://pakdwisampurno.wordpress.com/2016/03/25/perkembangan-serikat-buruh-di-indonesia-ekspektasinya-perjuangannya-dan-hasil-dari-kkb-nya/
http://nasional.kompas.com/read/2016/05/01/09300481/Hari.Buruh.di.Indonesia.dari.Rezim.Soeharto.sampai.Era.Jokowi?page=all

Komentar

Postingan populer dari blog ini

contoh kasus hubungan industrial pancasila

Mitos Telaga Bidadari